Om Swastiastu.
Atau, “Semoga apa yang ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.
Salam tersebut kami ucapkan pada 30 Januari 2020, tepat ketika kami resmi membuka kantor cabang dan gudang TaniHub di Bali. Cabang dan gudang di Pulau Dewata ini memang seperti karunia untuk kami, karena seperti impian yang menjadi kenyataan. President TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan dalam sambutannya bahwa memiliki kantor cabang di Bali telah menjadi mimpi kami sejak masa awal startup ini berdiri pada 2016.

Cabang ini pula yang menjadi destinasi pertama kami di luar pulau Jawa dalam menyebarkan hasil karya petani lokal dan ikut menggerakkan roda perekonomian daerah.
Mengapa Bali seperti istimewa bagi kami? Sebab, Bali memiliki ragam kebaikan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi semua orang; terlebih bagi kami yang berkecimpung di sektor pertanian.
Baca juga: Subak, Sistem Pertanian Indonesia asal Bali
Apa saja ragam kebaikan itu? Kami mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali, yaitu Tri Hita Karana, direalisasikan dalam kehidupan pertanian, sosio-ekonomi, dan budayanya. Tri Hita Karana atau “Tiga Penyebab Kebahagiaan” diwujudkan dengan menjaga keseimbangan antara Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Palemahan (hubungan dengan alam sekitar), dan Pawongan (hubungan dengan sesama manusia). Sekilas, falsafah ini tampak sederhana. Namun, bagi kami, ini adalah bentuk kebaikan universal yang tinggi, yang perlu ditularkan dalam kehidupan sosial sehari-hari di manapun kita berada.
Baca juga: Pulau Dewata, Lebih Dari Sekadar Memoar
Kebaikan dari Tri Hita Karana tampak dalam kunjungan kami bersama para pemimpin dan pengurus redaksi media massa nasional ke lahan yang dikelola mitra petani TaniHub, Ibu Yuliati, di Bedugul, Kabupaten Tabanan. Di pojok ladang stroberi yang dikelola Ibu Yuliati dan para petani yang dikoordinirnya, terdapat sebuah pelinggih untuk mereka dapat bersembahyang dan mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa melalui sesajen yang dipersembahkan setiap harinya. Di situ kami melihat Parahyangan dalam bentuk nyatanya.


Pada saat yang sama, kami melihat wujud dari prinsip Palemahan dalam selarasnya lahan pertanian tersebut dengan alam di sekitarnya. Berbagai hasil budidaya petani, seperti stroberi, buncis, lobak, bawang, dan selada, berpadu-padan dengan hutan alami di perbukitan dan udara segar yang jarang kita temukan di perkotaan. Manisnya stroberi yang kami petik langsung dari ladang membuat kami bersyukur dalam hati akan nikmatnya karya petani yang selaras dengan alam.


Setelah berkeliling di ladang, kami diundang melepas lelah di rumah keluarga Ibu Yuliati tak jauh dari situ. Beliau menghidangkan berbagai makanan ringan yang sangat membumi, seperti pisang rebus yang dipetik langsung dari ladang, salak gula pasir, jaje laklak, teh manis hangat dan kopi hitam. Kami menikmati istirahat kami sambil bercengkrama dengan keluarga Ibu Yuliati, menyadari bahwa inilah yang disebut sebagai Pawongan.

Baca juga: Keramahan yang Membius dari Pulau Beribu Pura
Mungkin kisah kebaikan Bali inilah yang juga memercikkan motivasi di benak para peserta yang bersemangat hadir di talk show TaniTalks meski hujan deras terus mengguyur semenjak acara dimulai hingga berakhir di senja hari. Kendati pada 30 Januari 2020 itu adalah kali pertama kami mengadakan TaniTalks di Bali, 170 orang antusias hadir mendengarkan bagaimana pertanian Bali dapat berperan dalam mendukung pariwisata di pulau tersebut.

Kami melihat cerita-cerita kebaikan Bali tersebut tidak akan pernah habis; bahkan akan selalu bertambah seiring dengan semangat kami untuk merangkul sebanyak mungkin petani dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di pulau ini. Kami ingin mendengar kisah-kisah seperti Ibu Yuliati lainnya melalui kehadiran kami di Bali.
Sebab, bagi kami, kebaikan Bali terlalu berharga untuk dilewatkan, dan terlalu manis untuk dilupakan.
Om, shanti, shanti, shanti, om.
Semoga damai atas karunia Hyang Widhi.
0 Komentar