Bener deh, climate change dan salah satu dampaknya udara yang nggak bersih makin menjadi-jadi. Hidup di Jakarta juga bikin saya makin sadar, kalau hampir tiap hari saya menghisap udaranya yang buruk dengan dalam-dalam. Awalnya saya menganggap hidup saya akan aman-aman saja dengan kondisi seperti ini. Akan tetapi rasanya saya nggak bisa terus-terusan nyaman dengan situasi ini. Membaca artikel-artikel dan data airvisual setiap hari pun bikin saya merenung.
Data terakhir, Jakarta masih bertandang di posisi ke enam sebagai kota dengan tingkat polusi tertinggi menurut sumber airvisual. Membaca kenyataan itu, membuat saya berada di fase yang mega problematis harus melakukan apa. Karena faktanya, medium-medium sumber pencemaran udara yang ada, sangat saya butuhkan kehadirannya dalam menyambung kehidupan di tengah perkotaan. Hal ini jadi sesuatu yang dilematis juga mungkin untuk beberapa orang yang tinggal di perkotaan.
Sampai kemudian, sebuah acara di kantor saya bekerja, mengadakan sebuah event rangkaian perayaan Hari Tani Nasional dan salah satu aktivitasnya mengenalkan konsep urban farming kepada masyarakat. Saya jadi penasaran dengan konsep bersahabat dengan alam tersebut, akhirnya seperti menemukan sebuah pencerahan, saya berfikir “mungkin saya harus mulai bertani”. Dimulai dari jendela kantor atau pekarangan rumah saya.
Beginilah yang diajarkan kepada saya saat mengikuti workshop Urban Farming yang dipandu oleh east west seed atau cap panah merah yang memproklamirkan diri mereka sebagai “petani bff”.
Komponen pertama yang harus kamu perhatikan dari menanam benih atau bibit adalah tanah, pupuk kandang dan arang sekam sebagai tempat hidup pertama bibit dan benih. Buat komposisi ruang tanammu dengan perbandingan 2:1:1 (Dua Tanah, satu pupuk kandang dan satu aram sekam).

Kenapa memilih medium Tray dibanding baki? Tray jadi tempat yang adil bagi tanaman bertumbuh, karena nutrisi yang mereka serap jadi lebih maksimal dan lebih merata. Tanpa menghambat pertumbuhan tanaman lainnya.
Tray semai disiapkan, saatnya saya memasukkan pupuk ke dalam tray hingga padat. Sedikit trik yang saya dapatkan, kamu bisa memadatkannya tray dengan mengetuknya ke permukaan yang datar.

Menekan bagian tanah perlahan memberikan ruang hidup bagi benih. Saya yang aslinya tidak sabaran, entah kenapa saat itu benar-benar merasa kalau harus memperlakukan tumbuhan layaknya manusia. Yang akan bahagia jika kamu perlakukan dengan penuh perhatian. Secara perlahan saya menaruh benih satu persatu di dalam tray semai.

Salah satu teman di kantor saya yang sangat concern dengan budaya pertanian di Indonesia jadi salah satu inspirasi untuk mulai merawat tanaman layaknya merawat kehidupan. Dia pernah bilang “tanaman yang dirawat dengan doa dan perhatian akan berbeda dengan tanaman yang dirawat oleh alat”. Menurutnya petani pun meyakini hal tersebut, dan itu alasan kenapa kita seringkali mendengar kebanyakan petani yang telah berumur biasanya menolak teknologi.
Setelah benih ditanam, ada proses di mana kami diajarkan memindahkan benih setelah menjadi bibit ke tempat yang lebih besar.
Namun, sayangnya tidak ditunjukkan proses menyiram, karena workshop ini kami lakukan di dalam sebuah gedung perkantoran. Kami hanya melakukan sedikit theatrical mencipratkan dan menyiram tumbuhan yang telah kami tanam.

Sederhana nggak sih? Saya jadi membayangkan kalau saja setiap orang bisa menanam satu benih atau bibit. Banyak yang bisa diselesaikan dari permasalahan-permasalahan yang ada di kota-kota besar. Ah, tapi kan nggak ada ruang? Kota dipenuhi dinding-dinding tinggi? Siapa bilang. Urban farming adalah cara bertani paling kreatif, dinding pun bisa jadi mediumnya. Ada lagi alasan? Saya rasa nggak ada lagi alasan menunda untuk berkebun. Namun lagi-lagi hal ini memang harus dilakukan oleh seluruh stakeholder. Siapa sih stakeholdernya? Ya, siapa lagi kalau bukan kita semua?
Kalau kamu tertarik dengan pengalaman ini, kunjungi Instagram @sayajugapetani dan lihat betapa para masyarakat sangat bersemangat dengan konsep urban farming ini!
#dukungpetanikita
0 Komentar